Pages

April 16, 2011

Jenuh


              Sudah kuputuskan. Aku tak lagi akan bercerita padamu. Meneriakan jenuh yang mengganggumu tiap pagi. Kupikir sudah saatnya kembali mengenali derap kaki yang dulu pernah melintas di panggung akademi. Ya, aku akan kembali menulis, kawan. Menyusun irama tentang ranjang, atau janggutmu yang mulai panjang. Kau tak perlu lagi cemas pada kisah yang kunyanyikan tiap kali bertemu denganmu. Jenuh lagi. Bosan lagi. Mungkin terkadang kau ingin sekali rasanya menyumpal saja mulutku. Dengan senja, barangkali: benda yang sering kusahajakan di depanmu.
            Ya, kau pasti bertanya, kenapa tiba-tiba aku tertarik lagi pada deret kata yang sebenarnya membuat rekan kerjaku tertawa. Terlalu picisan, katanya. Kurasa kau tak sepaham dengan mereka. Hey, aku ingat betul isi pesan singkat yang kau kirim dengan diksi yang tak biasa itu. Cukup manis, rasanya.
            Aku ingin mencintaimu dengan sempurna, dengan segenap semesta.
            Cinta lagi, cinta lagi. Mereka pasti bosan. Klise. Memang, aku sedang tak punya bahan lain untuk diperbincangkan dalam suasana hati macam begini. Kau tahu, aku yakin. Kita pernah tidur sekamar tanpa melakukan apapun. Dan aku ingat pertanyaanmu ketika itu:
            Kamu normal? Atau aku yang ga normal?
            Kita normal, kawan. Dapat kupastikan itu. Dadaku bergetar hebat saat menatap matamu. Dan suaramu, selalu menjadi harmoni yang menyejukan seisi kamarku.
            “Tapi, kenapa masih memanggilku  kawan?”
            Aku tidak yakin dapat menjawab pertanyaanmu dengan baik. Hanya saja, aku merasa tidak cukup nyali untuk membuat pertemanan kita berbeda. Ya, kubilang pertemaan. Kita masih berteman, kawan. Meski hubungan kita tidak layak dikategorikan dalam kata berimbuhan seperti itu. Kita saling tahu apa yang harus dilakukan saat gerimis membanjiri hati. Kita juga  mengerti, rindu setengah mati harus segera diobati. Tapi, kita masih berteman. Saja.
            “ Kenapa tidak memanggilku selain kawan?”
            Entahlah. Mungkin aku ragu. Atau, aku masih menunggu. Begini saja, jika ingin tahu jawaban lebih, lihat saja mataku. Kau akan menemukan sesuatu di sana. Sebuah jawaban. Barangkali kesungguhan yang sedang kususun tiba-tiba.
            “Jadi?”
            Tak ada yang jadi. Kau malah menarikku lebih dalam pada pertemanan yang makin tidak jelas arahnya. Terkadang, aku seperti memilikimu penuh. Jelas terdefinisi apa yang kurasakan ketika itu. Cinta. Tapi, tiba-tiba saja aku menangis. Menangisimu. Ponsel yang berdering. Pesan yang sama dalam inbox berbeda. Dan sederet nama yang terpatri di hatimu. Untuk itulah, kita sepakati saja pertemanan kita adalah hanya pertemanan. Tidak lebih.
            “Aku tidak begitu serius dengan semuanya. Pun denganmu. Maaf. Tapi, asal kau tahu, aku cinta padamu.”
            Well, aku mengerti. Kau juga mencintai mereka, bukan? Tak perlu menutupi. Aku paham betul. Dan aku hanya jenuh ketika itu. Lalu kau mendatangiku. Lalu kusumpahserapahi jenuh yang mengikatku berabad. Lalu kudeklamasikan padamu tiap waktu. Dan ternyata, jenuhku tak pernah tuntas. Hanya saat bersamamu saja. Mungkin.

***

            Sebetulnya ada yang ingin kuucapkan padamu. Lebih dari sekadar sepohon jenuh yang masih berdiri tegak di halaman depan rumah. Aku minta maaf.
            “Untuk apa minta maaf? Tidak ada yang salah denganmu.”
            Mungkin. Tapi, aku khawatir. Membuatmu membagi hati yang mungkin bisa mengurangi porsi yang lain. Mereka, maksudku. Oh, atau aku saja yang salah menafsirkan sikapmu. Tapi, aku sekolah. Paham betul suatu hubungan pertemanan itu macam apa. Dan kita lebih dari itu. Meski masih saja bernaung dalam deret kata yang menggelisahkan itu: per-te-ma-nan.
            “Aku bingung mau ngomong apa. Sikapmu hari ini tidak sebiasanya. Bicara macam-macam. Ingin berhenti bercerita padaku lah. Menulis lah. Pertemanan lah. Cinta lah. Aku bingung.”
            Pun aku, kawan. Tidak biasanya aku menangis. Mencemburui para perempuan di sampingmu. Aku tak berwenang sedikit pun dalam hal ini. Siapa aku? Kita hanya berteman. Aku memanggilmu kawan. Lalu kita berbincang sepanjang malam. Saat hujan terkadang. Ya, aku memang bahagia saat itu. Seperti memilikimu. Tapi, jelas sekali aku salah. Aku tak punya hak seistimewa itu, bukan?
            Baiklah, aku mengaku saja sekarang. Kau hanya menawarkan diri saat jenuhku meninggi. Lantas aku yang memilihmu dari sekian banyak pria yang bertandang terus terang di depan gerbang. Dan aku memang tak semestinya menghakimimu. Menuding kau yang mengajakku dalam situasi rumit ini: pertemanan yang aneh.
            Kau sama sekali tak bersalah. Makanya, aku minta maaf tadi. Terlalu berlebihan rasanya bersikap layaknya sepasang kekasih denganmu, kawan. Aku sadar betul sekarang. Kita harus segera mengakhirinya. Kembali hanya sesekali berbincang dan bertegur sapa.
            “Hey, boleh aku bicara? Kurasa kau tak perlu berpikiran kompleks seperti itu. Aku cinta padamu dan aku tahu kau juga cinta padaku. Kita pernah memandang hujan di jalan. Lalu kau diam-diam melingkari pinggangku yang kesepian. Tak perlu memikirkan pesan singkat dari mereka yang bergincu itu. Ya, aku tahu kau membacanya. Makanya kau beda. Kuakui, banyak wajah di hatiku. Termasuk kau. Tapi, harus kau tahu, aku selalu berusaha sebisa mungkin untuk mengenyahkan mereka saat bersamamu.”
            Demikian pula saat bersama mereka. Kau pasti mengenyahkanku. Dari pikiranmu. Dan alasan itu sudah cukup membuatku paham bahwa aku salah. Dengar baik-baik, aku beritahu kau seberapa dalam perasaan bodoh yang menjebakku kini. Ingat, kawan, bukan kau yang salah. Sempurna aku yang bertanggungjawab atas semua kekacauan ini.
            Aku seperti jatuh ke dalam jurang yang sebelumnya sudah kuketahui. Kau tahu alasan apa yang membuatku begitu ingin terjun bebas menuju jurang yang gelisah itu? Ya, betul sekali. Rasa penasaran pada dandelion aneka warna yang memanggilku tiba-tiba. Ingin sekali memetiknya. Dan, wush… tak bertahan lama ternyata. Angin segera menggugurkannya. Lantas tinggalah aku yang kesepian di dalam jurang.
            “Loh, apa hubungannya denganku? Menurutmu aku jurang? Atau dandelion? Atau apa? Kenapa kau ceritakan itu padaku? Kau semakin membuatku bingung.”
            Entahlah. Anggap saja aku gila. Bertemu denganmu ketika jenuh. Lalu banyak bercerita. Lalu kau bertamu ke rumahku, meski ayah ibu tak setuju. Lalu kita mencari tahu: apa aku benar mencintaimu? Atau kau benar mencintaiku? Tak ada yang tahu. Dan waktu hanya mneyampaikan: kita masih berteman, sepertinya.
            “Pertanyaanku belum kau jawab.”
            Aku tak tahu harus menjawab apa. Rumit sekali rasanya. Aku juga bingung, apa kau jurang, atau dandelion. Kau ini, ah. Asal kau tahu, tangisku meledak tadi pagi. Di ruang tak berkunci. Disaksikan pada juri. Dan gila, rasanya malu setengah mati.
            “Jadi benar, hari ini kau menangis? Karena aku? Aku yakin pasti itu karena aku, bukan? Aku tak tahu harus memperlakukanmu bagaimana. Dengar baik-baik. Kita saling mengenal ketika aku sudah megenal mereka. Kau sendiri tahu ceritanya. Sesakit apa yang kurasakan ketika itu dan bagaimana tujuanku saat ini. Kau tentu masih ingat. Pun ketika aku mendekatimu, aku tahu ini tidak akan berjalan dengan baik. Kau sudah punya tanggal bahkan. Tapi aku hanya ingin jujur padamu. Lalu kau menyambutnya. Kau bilang hal yang sama kau rasakan terhadapku. Jadi, siapa sebenarnya yang salah? Kurasa tak ada yang salah di sini. Dan tak ada yang harus kau tangisi setelah membaca pesan singkat itu. Kutegaskan sekali lagi, kalian semua sama. Mengisi tiap lekuk hatiku sampai tak bersisa. Jadi, jangan memintaku memilih. Kalian semua sama.”
            Tunggu dulu. Siapa yang memintamu memilih? Ingat lagi ucapanku sebelumnya. Aku sama sekali tidak memintamu memilih aku atau mereka. Dari tadi aku hanya meyalahkan diri. Terlalu hanyut dalam pertemanan rumit yang membuatku sakit. Kau pasti tahu perempuan. Posesif setelah obsesif. Dan aku sadar dengan sangat, aku tak berhak. Ya, kau benar. Aku cemburu. Setelah tahu kau memperlakukan mereka sama sepertiku. Menekan menu send to many untuk ucapan selamat pagi. Kupikir aku berbeda. Ha ha. Lucu sekali rasanya membayangkanmu sibuk menata hari pertemuan denganku atau mereka.
            “Lantas, kau menyesal? Bilang saja, kita bisa selesaikan ini baik-baik”
            Siapa yang menyesal? Aku berterima kasih malah. Kau pernah membuat jantungku berdegup hebat. Sampai saat ini mungkin. Entahlah.
            “Aku ingin jawaban pasti.”
            Baiklah, yang pasti aku ingin menikah denganmu, kawan.
            “Apa? Menikah kau bilang? Hal aneh macam apalagi ini? tadi kau terlihat marah padaku. Lalu kau bilang kita hanya berteman. Lalu kau bilang kau cemburu. Bahkan kau ingin menyudahi saja pertemanan yang aneh ini. Kupikir kau sudah bosan atau capek barangkali menjalin hubungan macam begini. Tapi sekarang tiba-tiba saja, kau ingin menikah denganku? Dengan laki-laki yang kau anggap tak cukup hanya dengan satu hati. Gila!!!!”
            Ya, kuulangi sekali lagi, aku sangat ingin menikah denganmu, kawan. Menyudahi segera jenuh yang lama berpendar. Lalu, bertemu di altar. Sehidup semati di depan Tuhan, berikrar.
            “….”


13 April 2011
inspired by the rain in her heart, last morning
           

1 comment:

  1. Each life is made up of mistakes and learning, waiting and growing, practicing patience and being persistent.

    Transformation is a process, and as life happens there are tons of ups and downs. It's a journey of discovery--there are moments on mountaintops and moments in deep valleys of despair.

    wolipopLifestyle

    ReplyDelete

Tinggalkan komentar...