Pelabuhan Terakhir

Suatu hari, kau memintaku menulis. Tentangmu. Tentang apapun yang kurasakan setelah bertemu denganmu. Ya, apapun. Kau memberiku setumpuk kertas dengan masing-masing sudah tercetak beberapa nama yang tentu saja kukenal—termasuk nama yang mendebarkan itu. Kau. Dan jujur saja, aku sama sekali tak terbiasa melakukan hal seperti ini. Menilai seseorang dengan coretan tak tentu layaknya remaja belasan tahun. Dan kau harus tahu, demi siapa aku rela menjadi pemuda picisan macam begini.

Aku ingat betul rengekan yang kau suguhkan tiap berkunjung ke Ramamu ketika itu. Rengekan yang menagihku tentang sebuah catatan. Ya, catatan yang telah ada di tanganmu kini. Dan kembali kutawar untuk kau umumkan pada dunia tentang Zulkaedah 1429 Hijriyah itu.

Fini Fitriani….

Nama yang tak pernah terlintas di hatiku sebelumnya. Sampai suatu ketika kulihat nama ini terukir di selembar kertas pengumuman yang terpampang di sudut gedung yang usang itu. Ia terselip di antara sebelas nama pejuang pendidikan yang tergabung dalam satu kelompok Berbasis Sekolah.

And it’s so hard to believed. Nama yang tak pernah terlintas inilah yang nantinya menjadi bagian dari cerita hidupku. Yang membuat hari-hariku lebih berarti. Menjadi sandaranku ketika lelah. Menjadi penyeka air mataku ketika menangis. Dialah rumahku.

Ketika hati telah berbicara, tak ada lagi jiwa yang mampu berdusta.

Meski bibir mengingkarinya, jiwa akan selalu tampak berbeda…

Kita adalah bagian dari sebuah cerita yang melelahkan. Cerita yang penuh dengan ketakterdugaan dalam skenario menakjubkan yang Allah tuliskan.

Tentang aku setelah bersamamu…:

Kau harus tahu

Kau adalah cerita tak terhinggaku

Siang malamku

Senja pagiku

Hingga batas waktu aku akan tetap mempertahankanmu

Kau adalah pilihan terbaikku

Dan jangan pernah bosan mendengar:

Aku begitu mencintaimu.

Aku percaya,

apa yang kuawali dari hati

akan mendapatkan tempat di hati.

Bukan begitu?

-Bandung, Zulkaedah 1429 H-