Pages

June 10, 2010

Sekotak Permen di Hari Ulang Tahun

Malam itu kulewatkan begitu saja. Malam ke-duapuluhsatu yang kuhabiskan sia-sia. Tak akan pernah dapat kutempuh lagi malam-malam sebelumnya. Berniat memperbaiki pun sudah bukan semestinya
*
Seperti malam-malam sebelumnya, kusiapkan serupa hiasan di tiap ujung kamarku. Memasangnya dengan segenap hati. Seperti menumpahkan rindu pada yang terkasih setelah dibentang kengerian waktu. Bermacam warna kupilih agar lebih padan dengan cat dinding kamar. Ada kertas jingga sebentuk siluet senja yang bertuliskan ‘selamat datang’ kupasang tepat di bibir pintu.Berharap sang malaikat memenuhi undangan yang sudah lama kutebar. Terlebih mereka yang selalu mengisi tawa tangisku harus mampu hadir sebelum kekecewaan kembali merebak seperti beberapa tahun yang lalu.
Beragam hidangan sudah tersaji sebegitu istimewanya. Kutata membentuk lingkaran seperti sajian di pesta-pesta bangsawan. Gelas-gelas kosong mengkilap menunggu jemari mengusap lembut lingkar pinggangnya yang langsing. Kue ulang tahun termahal sudah kupersiapkan di ujung meja paling depan, tepat di depan kursi yang nanti akan kududuki. Hanya dengan melihatnya saja, perut keroncongan akan terasa lesap berganti puas berkepanjangan.
Jiwa haruku semakin memendar tatkala kulihat sepenuh kamarku sudah ruah dan siap untuk berpesta semalam suntuk. Kutengok detik di layar ponsel: 07.15 p.m. Belum terlihat gemintang berkelip saat kusibak tirai berwarna senada dengan jiwaku yang selalu dipenuhi rindu pada hamparan rumput di salju utara. Hijau.
Ada apa malam ini?
Tak seperti malam kemarin yang begitu gemerlap. Begitu bersahabat dengan udara yang beranjak hangat. Begitu bernafsu memegahkan suasana. Membuatku sangat terpukau dan sempat berpikir untuk melangsungkan pesta saat itu juga. Namun, aku kembali tersadar pada ribuan undangan yang telah kutebar pada setiap sahabat di sekelilingku. Jika hanya pada senja atau jam dinding aku mampu memberi alasan untuk mempercepat pestaku. Dengan berbisik saja, mereka akan sangat mengerti dan tetap ikut dalam kumpulan menyanyikan sebuah lagu doa untukku.
“Hey Cantik?! Sedang apa memandang langit yang begitu rahasia malam ini?”
Seseorang atau mungkin sesuatu telah memudarkan lamunanku. Kutengok sekeliling kamar. Tak ada apapun yang mengisyaratkan sebentuk ucapan. Lantas siapa yang barusan berbisik padaku.
“Siapa kamu? Ayo tunjukkan dirimu!”
“Apa kau tak merasakan kehadiranku? Aku di sini. Di sebelah sudut jendela yang mematrimu sedari tadi.”
Aku semakin terheran-heran mencari sosok yang semakin lantang berujar. Kusibak tiap tirai dan kain yang menutupi sesuatu apapun di kamar ini. Tapi, kosong. Tak ada apapun. Hanya riak hiasan berjuntai tersapu milir angin dan gemericik tetes embun yang melingkupi sekujur meja tempat hidangan tersaji.
“Tunggu sebentar! Kamu bilang apa tadi? Di sudut jendela? Di mana? Aku sama sekali tak menemukanmu.”
Kutunggui jawaban yang bersumber dari apapun yang entah aku pikirkan. Apa sang malaikat sudah datang? Apa dia yang sedari tadi menyaksikan kegalauan hatiku yang sedang menunggu para tetamu? Atau hanya lubuk hatiku saja yang berbisik meminta perhatian untuk tak lagi mengharapkan di luar dirinya? Seperti malam-malam sebelumnya. Mematri diri di depan televisi atau berpesta dengan angin malam dan gemintang sampai dentang pukul 12 pagi. Mungkin akan kembali seperti itu. Sia-sia saja kubuat malam ini spesial. Cetakan undangan sebulan yang lalu masih tersisa di bawah meja. Kata yang teruntai di dalamnya sudah kupilih dengan diksi yang mahaagung dan kutata dalam letak agar pasang mata dapat tersihir melewatkan malam bersamaku di kamar ini.
Aku benci melihatmu seperti ini lagi. Kau begitu putus asa. Sama seperti malam di tahun-tahun sebelumnya. Bisa tidak untuk malam ini saja kau lupakan lembar undangan itu? Buat malammu lebih berarti tanpa pesta dan orang yang kau agung-agungkan itu.”
“Hey, peduli apa kamu mengurusi hari istimewaku? Siapa kamu? Wujudmu saja tak pernah kulihat. Kamu ngga usah mengurusi aku!”
Harusnya mulai malam ini kau tahu, apa yang harus dan tak harus kau lakukan. Masa depanmu lebih bermakna dari setiap pesta yang dihadiri para undangan yang diharapkan. Duapuluhsatu, bukan angka yang kecil bagi seorang manusia untuk memaknai hari lahirnya. Membuat jejak-jejak yang ditinggalkannya memiliki memori yang dapat dibawa kelak di mana nafas tak lagi berhembus.”
Deg...
Dadaku tiba-tiba berdegup begitu kencangnya. Suhu tubuhku beranjak menghangat tak beraturan. Kurogoh saku kecil celana jeans-ku. Kucari benda berharga yang selalu menemani sepanjang hari, sepanjang tahun. Sebentuk cermin oval berwarna hijau tua bercampur bercak hitam di tiap sisinya adalah dia yang sedari tadi berbincang dengan risaunya jiwaku. Aku mendapatkannya. Pantas saja aku seperti pernah mengenal suara itu. Suara si cermin, penghilang gundah di saat aku kesepian.
Berhenti berpura-pura mengenalku. Sedari tadi saja kau begitu kebingungan menerjemahkan suaraku. Dan sampai saat ini pun kau masih tak menganggap setiap kata yang keluar dari mulutku adalah ungkapan hatimu yang paling dalam. Seperti malam ini. Kau masih tak menyadari betapa perbuatanmu sia-sia. Membuat lubang yang sebelumnya pernah membuatmu terperosok ke dalamnya.
“Diam!!! Berhenti ngomong seperti itu. Aku ngga seperti yang kamu pikirkan. Yang aku lakukan malam ini bukan hal yang sia-sia. Malam ini berbeda. Aku yakin. Aku menambah daftar tamu undangan yang akan datang ke pestaku. Kamu tahu? Sebulan yang lalu aku sudah mengirim undangan pada Malaikat. Sebenarnya jika Tuhan sedang tidak berhalangan, aku sudah menitip pesan untuk mengajakNya datang ke pestaku tepat tanggal seperti malam ini. Dan mereka pasti datang. Aku yakin. Aku sangat yakin. Malam ini pestaku akan lebih bermakna.”
Sudahlah! Kau tak usah berharap begitu banyak. Sudah kupastikan tak akan ada yang datang malam ini selain denting langkah rindu pada tiap-tiap usiamu. Asal kau tahu, Tuhan tidak sudi datang ke pestamu. Dia lebih sudi meringkuk di pangkuanmu sejenak sehabis kau bersujud.”
*
Kami terus berdebat tentang hal yang sebenarnya pernah ditumpahkan hampir setiap tahun. Selalu di posisi seperti ini. Aku sebagai pihak yang sendiri. Menunggu. Kalut. Tak datang. Sedih. Menangis sepanjang malam. Tidur lewat dari jam 12 malam. Bangun dengan mata sembab. Kembali beraktivitas seperti tak pernah terjadi apa-apa.
Semuanya akan tetap seperti itu. De ja vu. Meski malaikat telah kuundang dengan sebuah kartu yang teramat istimewa. Tapi aku memang sangat ragu mereka memenuhi undangan itu. Aku adalah salah satu perempuan dari milyaran perempuan di muka bumi ini yang sedang merayakan hari ulang tahun. Dan aku pasti berada dalam daftar yang paling ujung dikunjungi. Entah cukup waktunya nanti atau tidak, namaku selalu terhapus dari catatan. Mungkin. Aku akan menangis kembali seperti malam keduapuluh, malam ke sembilanbelas, dan malam-malam sebelumnya. Menangis sepanjang malam.
*
Tok tok tok....
....
Itu mereka!
Aku yakin mereka pasti datang. Mereka datang. Sudah kubilang, mereka pasti datang. Mereka tak akan melewatkan pestaku untuk kesekian kalinya. Tak akan kusia-siakan malam ini. Selamanya akan menjadi malam yang teristimewa sepanjang masa.
Segera kubergegas menuju pintu. Bersiap memeluk mereka satu persatu. Jika mungkin aku akan menitikkan air mata di setiap bahu mereka. Meluapkan haru selain ucapan terima kasih. Mengalirkan sendi-sendi kerinduan yang selama ini terpendam dalam lubuk hati yang terdalam.
Di balik pintu aku bersiap memenjarakan emosi yang terlalu menggebu penuh keharuan. Kutata letak gaunku. Kuusap sedikit titik air di sudut mataku. Kusiapkan senyum termegah untuk menyambut tamu yang paling istimewa—mereka, yang sedari tadi kutunggu sepenuh harap.
Kubuka pintu. Yang tercipta adalah sebentuk wajah asing yang tak pernah tampak dalam relung:
“Selamat malam Zalea. Selamat ulang tahun. Maaf sedikit terlambat. Tadi aku kesulitan mencari alamat rumahmu.”
Kemana mereka? Siapa lelaki ini? Siapa yang mengundangnya? Bagaimana dia bisa tahu pestaku? Dari mana juga dia tahu namaku? Kemana para undangan yang kuharapkan? Mana mereka? Kenapa bukan mereka yang datang? Kenapa harus orang yang sama sekali tak kukenal yang justru mengucapkan selamat ulang tahun dan menghadiahiku sekotak entah. Kenapa bukan mereka?
Aku masih tertegun dengan dahi berkerut. 11.57 p.m. Entah apa yang sedang kupikirkan. Aku hanya tak menyangka siapa yang menyapaku barusan. Orang yang sama sekali tak kukenal. Lelaki yang tak pernah terlintas dalam mimpi sekalipun. Wajah yang begitu asing. Suara asing. Degup asing yang diam-diam menyelinap di balik jantungku.
“Hey, kok malah diam? Aku bilang selamat ulang tahun. Ini! Maaf kadonya tidak seberapa. Aku hanya bisa memberimu ini.”
“Oh iya, maaf. Tidak apa-apa. Terima kasih sudah datang. Silakan masuk.”
“Kamu sendirian? Mana tamu yang lain? Sudah pulang? Bukankah usiamu akan genap duapuluhsatu tahun tepat pukul duabelas malam ini? Kenapa mereka malah melewatkannya?”
“Oh, itu.... Sepertinya mereka semua berhalangan datang ke pestaku. Mereka sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tapi aku mengucapkan terima kasih, kamu sudah sedia menghadiri pestaku dan mengucapkan selamat ulang tahun malam ini. Aku sungguh tidak menyangka seseorang dapat hadir dan melewatkan tengah malam bersamaku, meskipun aku sama sekali tak mengenalmu. Kalau kamu tak keberatan, dari mana kamu tahu hari ulang tahunku? Dari mana kamu tahu namaku? Siapa sebenarnya kamu?”
“Aku sama sekali tak menyangka akan menjadi satu-satunya yang hadir di sini. Aku kira, aku hanya seorang yang terlambat dan hadir saat pesta akan segera berakhir. Aku mengenalmu lebih dari yang kamu bayangkan. Selama ini aku hanya kurang memahami bagaimana cara memulai semua ini. Memulai untuk kamu tahu siapa aku. Aku hanya seseorang yang mengagumi satu titik tak terlihat dalam dirimu. Namaku Albi.”
Albi?”
Nama yang sepertinya pernah terukir jelas entah di sudut sebelah mana di kedalaman hatiku. Lelaki berperwakan sedang, berwajah oval dengan sedikit sisa rambut di kedua belah pipinya itu seperti pernah bermuara entah di mana. Aku tak pantas menebak-nebak dia begitu saja. Yang sempurna malam ini, dia datang untuk mengalihkan resah yang selama ini sering menghantui dalam lelap dan rasa bersalahku.
*
Malam ini memang berbeda. Ternyata memang ada seseorang yang sangat memperdulikanku. Selama ini aku hanya sibuk pada hal yang itu-itu saja. Aku tak pernah mengangkat wajah, menengok kiri kanan, bertegur sapa dengan yang tak kukenal. Karena itulah, aku tak mengenal seseorang yang sebenarnya sangat mengenalku penuh. Dan aku harus berkata jujur, aku memang perempuan yang hanya tertulis dalam sebuah batu kerikil yang kadang diabaikan sampai membuat seseorang tersandung. Ya, akan kubuat filosofi itu luluh dalam genggaman lelaki yang sedang berdiri di sampingku malam ini.
“Hey, kapan lilinnya akan ditiup? Kurasa, mereka sudah menanti nafasmu untuk bisa terpejam.”
“Ah, iya....”
Kutiup lilin yang selama berjam-jam terus menunggu si pemantik membakar sumbunya. Dalam satu tarikan nafas leleh sudah bunga jingga yang dapat membakar apapun itu. Dengan penuh bangga kupotong sebagian kecil kue ulang tahun di hadapanku, kupersembahkan hanya untuk seorang yang malam ini rela menghabiskan waktu tengah malamnya bersamaku. Albi, sebuah nama yang akan terus terukir di dasar jiwaku yang paling abadi.
“Terima kasih. Aku masih tak percaya kamu bisa tiba-tiba hadir dalam kehidupanku. Pada hari di mana segalanya beranjak menemukan sebuah arti. Pada usia yang mulai mendekati ketidakabadian. Terima kasih.”
“....”
“Boleh kubuka kadonya?”
“Silakan. Aku tak bisa memberimu lebih dari yang aku berikan saat ini. Tapi, kuharap sesuatu di dalamnya mampu mengusir perasaan sedihmu selama ini.”
Perlahan kuintip bungkus kecil di balik kertas merah jambu yang menutupinya. Seperti sebuah kotak, tapi tidak berbentuk hati. Kusingkirkan kertas yang menutupinya. Di pangkuanku kotak itu seperti tersenyum malu memaksa segera membukanya menikmati sesuatu yang tersimpan di dalam. Kubuka dengan penuh perasaan, berharap hal yang kuinginkan bersumber darinya.
Sekotak permen! Untuk apa dia memberiku permen? Apa aku terlihat seperti anak kecil yang tersesat di kerumunan?
“Permen?! Kenapa kamu memberiku permen?”
“Untuk membuat hari-harimu manis. Untuk lebur dalam lembut lidah menghindar tajam geligi. Untuk melupakan sejenak rasa pahit setelah berebut menjalani dunia. Untuk kamu mengingatku ketika segalanya terasa manis. Untuk itulah, kuhadiahi kamu permen-permen ini. Apa kamu suka?”
“Tentu saja. Apapun yang diberikan padaku malam ini, akan menjadi sesuatu yang sangat berharga. Termasuk kehadiranmu. Terima kasih.”
*
Kuhabiskan malam bersamanya. Meniti tiap mimpi. Memendarkan resah, menyembunyikannya di bawah bantal. Menikmati setiap gelak tawa hingga seberkas senyum yang keluar dari bibir. Memaknainya seperti telah menerjemahkan lelah yang selama ini mematri diri dalam sebentuk waktu.
07.03 a.m.
Sepertinya aku teringat sesuatu.
Kata-kata cermin yang menohokku tadi malam belum kudefinisikan. Tentang Tuhan yang tak sudi datang ke pestaku. Tentang para malaikat yang selalu membuat namaku berada paling belakang dan memaksa mereka melupakan nama itu.
Harusnya aku mengerti, setiap makna yang kuanggap sempurna hanya menurut pandanganku saja. Tuhan belum menerimanya. Dan hari ini, ketika tahajjud kulewatkan begitu saja, subuh terlambat kusapa, dan seseorang di sampingku masih enggan beranjak dari ranjang yang dipenuhi belenggu kalut. Untuk kesekian kalinya aku hanya mampu menyesal pada fajar yang terbentang. Dan kembali berjanji pada malam di tahun-tahun berikutnya lebih bermakna dari hanya sekedar sekotak permen penghilang rasa pahit di kehidupan yang aral kujalani.

Bandung, September

4 comments:

  1. heheu, nyobain komennya berfungsi atau ga....

    ReplyDelete
  2. Mantep, euy Fin!
    Lumer aku dibuatnya pada alasan kenapa harus menghadiahkan sekotak permen di hari ulang tahun. Manis sangat!

    ReplyDelete

Tinggalkan komentar...