Pages

May 10, 2010

Menggali Serak Bahagia


Sebagian besar kuingat. Sebagiannya lagi kuambil dari mimpi-mimpi.
Hari itu tak pernah lekang dari ingatan. Seorang perempuan, pertama kalinya mampu menciptakan sebentuk puisi nan indah. Begitu sempurna. Begitu bahagia. Tak seorang pun mampu melukiskan betapa saat itu adalah puncak penemuannya akan sesuatu. Puncak kenyaman yang sering melekat dalam benaknya ketika masih belia. Menurutnya, inilah serak kebahagian yang akhirnya dapat terkumpul membentuk suatu malam penuh gemerlap. Ya, inilah saat yang selama ini ditunggunya. Saat segenap debar berkumpul menjadi pengalih rindu pada rasa hangat setelah terdampar di ujung utara. Saat secarik gigil menyeruak tak tertahankan suasana. Saat darah begitu asyik mengalir bahkan di urat-urat yang tak pernah dilewatinya. Saat dunianya tak lagi dipenuhi puing yang tak terbaca. Saat galau perlahan berlari mengejar bintang utara. Saat di mana semua hal menjadi terang dan menciptakan mentari di sela-sela lubuk hati yang paling dalam. Saat itulah serak itu ditemukannya. Sebuah kata. Selarik nama. Serupa wajah. Sepenggal kisah.
***
Untuk kali ini saja, kau cukup memanggilku Bumi. Seorang perempuan yang terlunta-lunta menata masa depan. Yang begitu sibuk meniti kenangan yang tak terlupakan. Yang sedang ingin mengulang sebentuk rasa yang begitu dikenal dan sangat dinikmati. Akan kuceritakan padamu betapa megah dunia yang kutinggali ketika rasa itu singgah. Tak pernah kulewatkan senja tanpa debar yang kian. Mendebarkan sebuah kata. Selarik nama. Serupa wajah. Sepenggal kisah.
Cinta. Langit. Purnama di malam gelap. Cerita hati yang terjamah rasa Mahaagung.
Dialah Langit, peneduh rasa resah penuh tanda tanya. Ya, panggil saja dia Langit. Seorang lelaki yang kujatuhcintai di saat yang tak pernah terduga. Aku tahu persis rautnya yang sangat optimis memandang segala hal. Saat di mana dia memancarkan entah apa yang membuatku begitu tak berdaya. Aku jatuh cinta. Dia telah membuatku jatuh cinta. Pada pandangan ke sekian. Untuk itu kunyatakan, dialah cinta pertamaku. Penggubah rasa bersalah pada tiap penggal jiwa yang kukecewakan di masa lalu.
Kau cukup tahu, betapa tak terkalahkan ketika geliat rasa itu menerobos tiap dinding di kedalaman hatiku. Tak perlu kupaksa, sumringah selalu mengisi detik-detik yang tak pernah tampak.
Memandangnya saja seperti telah kunikmati rindu:
Pada gerimis di Sahara
Pada purnama di dasar Pasifik
Pada lalang di Salju Utara.
Langit memang tak cukup sempurna. Tapi kau harus tahu, kemegahan senyumnya, keharuman namanya, keindahan ucapannya, dan kemenarikan tiap garis wajahnya—bagiku bagai sepenuh purnama di malam gelap—menjadikanku tak pernah mampu mengendalikan diri ketika suatu kali kutemukan dia di sudut mata. Ini memang terdengar gila. Tapi, aku memang sedang tergila-gila padanya waktu itu. Sangat. Melumpuhkan sendi-sendi. Kulai. Tak berdaya di hadapannya. Mestinya kau menyaksikan sendiri setiap kejadian yang kulewati waktu itu. Penuh pengharapan. Penuh kecamuk yang menggebu-gebu. Seperti tak ingin kehilangan. Seperti sangat ingin begitu memiliki. Seperti ingin menjadikannya segaris coretan di dasar hati. Tato. Tak terhapus waktu.
Namun, kebahagiaanku tak sejalan dengan takdir. Dia berharap lain. Dia benar-benar tak memihakku. Dia malah berpihak pada seorang perempuan lain. Seseorang yang awalnya kukira hanya sebuah kabar angin yang sebentar lagi akan entah dibawa milir ke mana saja. Tak lantas tetap tinggal selamanya di sana. Tapi aku salah. Kau tahu? Betapa hancur berkeping-keping rasa yang kubangun dengan segenap perasaan waktu itu. Semuanya luluh. Tak lagi ada raut bahagia tak terkira di kedua bola mataku. Hampir di setiap tepian malam, aku menangis. Menangisi hati yang berserakan di lantai kamar. Menangisi dia. Menangisi lelaki pengisi keping pertama di jiwaku. Menangisi raut yang terpatri abadi di awal fajarku. Menangisi Langit. Cinta pertamaku.
Jika saat itu kau ada, mungkin tak akan aku begitu terpuruk seperti itu. Kau pasti akan membuat segalanya jadi lebih baik. Kau akan mendekap erat tubuhku. Memberi kehangatan pada tiap sudut hatiku. Bahkan jika mungkin, kau pasti akan menyumbat aliran yang tak pernah henti mengalir di lekuk wajah. Mengenyahkanya tanpa ampun. Tapi, saat itu kau tak ada. Kau tak pernah tampak di hadapanku. Hanya berupa bayang yang entah. Sketsa. Begitu absurd.
***
Tak kusangka, Langit begitu betah tinggal di hatiku. Kehadirannya yang tak terduga. Sesuatu yang dimilikinya yang membuatku begitu tergila-gila. Gemuruh teriakannya yang masih kuanggap sebagai suara terindah di keheningan malam. Tatap tajam matanya yang selalu menusuk ulu hatiku tanpa jera, dan coretannya yang penuh makna di tiap lembar surat kabar adalah segenap bentangan klasik yang tak mampu kusingkirkan penuh. Selalu mampu menebarkan gelitik rasa yang entah. Kadang, sedikit tawa menghias di ujung bibir. Ya, para kekasih pasti lebih mengerti tentang yang kurasakan. Tak lagi dikira membual. Karena, ini adalah kesungguhan.
Cinta pertama tak pernah akan terlupa. Membuat diri selalu merasa menjadi yang terindah. Membiaskan kerlip-kerlip penuh makna di ketakterhinggaan waktu. Kau harus percaya itu. Maaf, jika cinta pertamaku adalah Langit, bukan kau.
Mungkin mereka benar, tentang cinta yang tak harus memiliki. Tentang cintaku pada Langit yang harus kandas begitu saja. Membiarkannya memilih perempuan lain. Tapi, mana bisa? Bukankah cinta tak akan pernah berwujud tanpa diungkapkan? Cinta juga tak boleh disebut cinta jika tak terjalin dari dua bilah. Bukan begitu? Kuharap kau juga berpikir seperti itu. Biarlah tentang rasa cintaku—entah disebut cinta atau bukan—pada Langit tetap mengisi lembar dalam buku harian hidupku. Biarlah seperti itu. Seperti ranting yang terus terpatri pada sebatang pohon. Jika ranting itu kuat. Jika tidak, dia pasti akan runtuh dengan sendirinya.
***
“Lantas, kau anggap apa aku? Cinta kedua? Cinta ketiga? Cinta kesekian?” selorohmu, tanpa memberiku waktu menghela nafas. “Selama ini aku mencintaimu dengan segenap hatiku. Tak seorang pun mampu menggantikanmu. Tidak juga mereka yang pernah ada di hatiku. Aku meninggalkan semunya. Penuh. Tak tersisa.” lanjutmu, masih dengan ekspresi yang sangat kuhapal. “Lalu, kau seenaknya saja menceritakan seorang lelaki lain yang menurutku begitu sangat kau cintai. Begitu sangat kau agungkan. Jadi, selama ini kau tak pernah menghapus lelaki itu dari hatimu? Kau membiarkannya begitu saja terpatri di sana? Kau akan membuatnya abadi?” semakin tegas setiap ekspresi di garis wajahmu. Aku hanya tertunduk. Lagi lagi, seperti pada setiap keadaan sebelumnya. “Sekarang, coba kau jelaskan padaku, seberapa besar perasaanmu pada lelaki itu?”
“Harus kujawab?”
“Tentu saja. Aku butuh jawaban itu sekarang. Sebelum semuanya terlambat. Sebelum aku terlalu menyimpulkan banyak hal sembarang. Kau harus memberiku jawaban.”
Kau begitu mengharapkan jawaban itu. Aku paham. Sangat paham. Tapi, kenapa aku merasa ucapanmu tadi seperti ingin menghancurkan kenangan yang selalu kujaga. Jika memang ya, kau salah besar. Setiap kenangan yang kumiliki—entah menyedihkan, entah membahagiakan—akan selalu menjadi bagian dari hidupku. Tak pernah terlintas untuk menghancurannya. Mungkin, sedikit melupakan, iya. Tapi, tidak sepenuhnya. Kau harusnya tahu itu. Kau bilang kau paling memahamiku. Kau bilang kau tak akan pernah peduli dengan masa laluku. Kau bilang kau akan selalu menatap masa depan denganku. Jika suatu saat kau menemukan masa laluku yang masih kusimpan, kau sudah berjanji tak akan mempermasalahkannya. Lantas kenapa kau meragukan kepercayaanku? Tentu saja kau menempati sudut yang sudah kupersiapkan sedari dulu. Jauh sebelum aku mengenal dunia. Jauh sebelum aku mengenal mereka—para lelaki yang sering kulempar tanpa alasan. Lebih jauh lagi sebelum aku mengenal Langit. Cinta pertamaku.
“Ya, Langit masih di hatiku. Dia akan selalu di hatiku. Terpatri. Membumi di sana. Selamanya.” tegasku dengan mata tertancap tajam tepat di titik hitam matanya. “Tentang kau yang mencintaiku sangat, ya, aku pun begitu. Sungguh. Kau telah menjadi bagian paling megah dalam hidupku. Paling nyata. Seperti masa depan yang akan kuhabiskan di bahumu.” Semakin kupertajam sorot mataku, berharap kesungguhan terpancar darinya. “Jangan pernah berpikir aku tak mencintaimu. Kau salah besar. Jika Langit masih mengisi salah satu sudut di hatiku, itu bukan lantas menjadi alasan untuk mengabaikanmu. Langit hanya kenangan. Yang manis dan mengecewakan. Cukup tertanam di sana. Saja. Jangan pernah memaksaku melesapkannya. Karena, sebagian besar hatiku....” sejenak kutarik nafas, kuhembuskan lagi perlahan. Kupikir inilah momen yang mungkin saja membuatmu merasa nyaman. Tak lagi meragukanku. Kuharap, ya. Kau akan merasa sangat nyaman setelah tadi kau ruahkan ketegangan di tiap sudut ruangan ini. “.... adalah kau.” titik.
Kau diam saja. Mengeja tiap kata yang keluar dari bibirku. Sebentar kemudian, kau tumpah dalam haru. Aku pun begitu. Meski hanya sebulir, tetes itu dirasa cukup untuk membuktikan jiwa kita yang mulai senada. Mengiringi hingga ujung paling temaram. Jika tak keberatan, akan kulukis detik ini sebagai awal kita dalam menggali mimpi. Menemukan tiap seraknya. Dijadikan bahagia menjelang senja.
***
Seorang perempuan, tak lagi merasa harus membunuh waktu. Dia kian yakin, akan menancapkan kuku-kukunya di tiap dinding gedung. Memanjat hingga batas langit. Menjemput bahagia. Entah yang dirasanya dulu. Entah yang akan baru dirasanya nanti. Dia pasti sanggup. Beribu doa telah dipanjatkan. Berlaksa puji telah diretas. Tinggal menunnggu jawaban saja. Dari-Nya.

1 comment:

Tinggalkan komentar...