Pages

April 22, 2010

Elegi Seorang Lelaki

Kukirimi kau salam kemarin malam. Kubisikan pada mega yang mulai surut. Sudah kau terima?
Kenapa diam saja?
Aku bertanya padamu, tahu?
Kau mendengarku, tidak?
Hey?!


Semalam aku mati-matian ingin menemuimu. Ingin memastikan kabarmu baik-baik saja. Tapi kau tahu sendiri, sulit sekali menemuimu. Aku sangat mengkhawatirkanmu. Kau pikir aku senang membiarkanmu seperti ini? Aku takut terjadi apa-apa denganmu. Makanya, aku menitipkan salam pada mega. Pada angin, tepatnya.
Kau dengar?
Hey?!

Bisa tidak, untuk malam ini saja kau keluarkan sepatah kata. Aku mohon. Aku hanya ingin memastikan kalau kau baik-baik saja. Memastikan juga kau memiliki perasaan yang sama sepertiku.

Jangan cuma menatap hujan. Tatap aku sekali saja. Tatap kesungguhanku. Tak ada apa-apa dalam hujan. Hanya basah. Kau tahu? Aku bingung memilikimu. Bingung harus memperlakukanmu bagaimana. Kau selalu diam. Kupetikan rembulan. Kau diam. Kubacakan puisi terindah. Kau diam. Kubelikan pesiar semegah Poseidon. Kau diam. Kujelajahi jentik jarimu. Kau diam. Kutebar pesona cintaku. Kau diam. Kupecahkan gelas-gelas mewah favoritmu. Kau masih diam. Bahkan kuledakkan rumah yang kita tinggali selama ini. Kau tetap diam.
Kenapa?

Sekarang kita tak punya tempat tinggal. Aku hanya pekerja jalanan. Menjual suara dengan senar yang tinggal satu. Sebenarnya aku tak tega melihatmu diam menatap kosong lorong di sudut kota. Menungguiku. Itu pun kalau aku tak salah tangkap. Habisnya kau selalu diam. Aku tak tahu apa maumu. Kau tahu? Kadang, aku sering menangis sambil menatapmu terlelap. Menaksir segenap rasa di kedalaman hatimu. Apa kau memang tidak keberatan hidup bersamaku.
Sudah tiga hari ini aku tak menemuimu. Aku terlalu sibuk meniti pundi-pundi. Tentu saja hanya untukmu. Aku ingin membeli rumah lagi. Membaringkanmu di ranjang hangat. Menjadikanmu putri salju lagi. Aku ingin lebih mengerti sikapmu. Toh, aku sudah hidup bertahun-tahun dengan sikap diammu.

Tapi, kadang ingin juga rasanya mendengar sepercik saja suaramu. Biar kalau aku mengirimimu salam lewat angin atau senja atau burung hantu atau gemerisik daun, kau membalasnya. Aku pasti akan senang sekali. Teramat sangat senang malah. Tapi, sudahlah. Aku yakin kau tak sudi melakukan itu. Kau tak akan pernah sudi mengucapkan sepatah kata pun padaku. Pada dunia bahkan.

Kau masih mendengarku, kan?
Dengarkan dulu saja. Maaf, tadi aku sedikit emosi. Habisnya, aku sudah susah payah mencari uang dan selama lebih dari tiga hari aku tak pulang, kau masih saja seperti dulu. Bersikap tak acuh padaku. Bersikap seolah aku tak ada. Diam. Maaf, ya. Padahal aku sudah tahu, dari pertama aku mengenalmu kau memang dingin. Beku. Datar. Diam. Tapi, aku masih saja optimis menjalin hubungan denganmu. Dalam tali pernikahan pula.
Tak semestinya aku kecewa pada sikapmu. Kalau ingin yang lebih, kenapa aku tak nikahi saja perempuan lain. Pasti kau berpikir begitu. Memang benar, seharusnya aku sadar, aku yang memilihmu. Aku yang ingin menghabiskan seumur hidupku denganmu. Sangat ingin. Sampai saat ini.

Sebentar,
Boleh kugenggam tanganmu? Memelukmu juga? Hari sudah larut. Pasti kau kedinginan. Maafkan aku tak bisa membuatmu bahagia. Tapi kau harus percaya, sebentar lagi, kita akan punya rumah. Kita akan tinggal di tempat yang beratap lagi. Kau dengar itu? Kau harus percaya padaku.

Bagaimana? Terasa lebih hangat? Kuharap iya. Aku belum bisa membelikanmu selimut. Jadi, anggaplah aku selimutmu. Aku akan membuatmu sehangat mungkin. Aku juga akan tinggal dengamu malam ini. Senar yang biasa kupakai untuk bekerja, putus tadi sore. Jadi, aku tak bisa bekerja malam ini. Besok saja aku perbaiki. Kau mau membantuku, bukan? Cukup memandangi aku bekerja. Itu pun kalau kau tak keberatan. Kalaupun kau masih belum mau memandangiku, kau cukup berada di sampingku. Itu saja sudah cukup membuat semangatku meluap-luap.
***
Tubuhmu hangat sekali. Aku sampai lupa terakhir kali mendekapmu seperti ini. Kau lihat gemintang itu? Ikuti tanganku! Satu bintang yang paling ujung sebelah sana. Kau tahu? Aku sering bermimpi mampu membawamu ke sana. Bahkan kita menjadikannya tempat tinggal sepenuhnya.

Kau masih ingat? Aku pernah memetikanmu purnama di malam ulang tahun pertama pernikahan kita. Apa kau masih menyimpannya? Nanti kita bawa dia kalau aku bisa menjadikan bintang yang terang itu rumah kita. Biar lebih bisa menetralisir panas yang mungkin saja membakar kita tanpa ampun.

Kau masih terjaga? Kalau merasa mengantuk, pejamkan saja matamu. Anggap kita berada di ranjang seorang bangsawan. Hangat. Lembut. Nyaman. Jangan memandang sekeliling kita yang hanya dipenuhi genangan air. Basah. Dan dingin yang menyergap. Jangan khawatir, aku akan masih di sini sampai fajar terbentang nanti.
Pejamkan saja matamu.

Masih belum mau terlelap? Kalau begitu, kita hitung saja gemintang itu. Orang bilang itu akan berhasil. Kita akan terlelap bersama. Kau setuju, bukan? Kuanggap iya.
Tapi, tunggu sebentar. Sebentar saja. Aku mau ke belakang. Rasanya, perutku mulas sekali. Padahal aku belum makan apa-apa dari tadi pagi. Oh, aku lupa membelikanmu makan. Kau pasti lapar, ya? Tunggu sebentar. Sekalian kubelikan kau nasi bungkus di pertigaan. Jangan kemana-mana. Jangan dulu tidur. Tunggui aku dulu.
Aku segera kembali.
***
Ini, aku bawakan kau nasi bungkus kesukaanmu. Makan, ya? Mau aku suapi? Baiklah, sini, sandarkan tubuhmu di tembok, aku akan menyuapimu.

Kau ingat, saat pertama kali kita menghabiskan malam berdua? Aku sibuk membuat perbincangan. Sementara kau terus saja asyik meniti malam dalam gerimis. Aku pikir, itu caramu memberitahuku bahwa kau juga tertarik padaku. Untuk itulah, aku terus melanjutkan perbincangan denganmu. Meski kau tetap diam.

Malam itu, pertama kalinya juga aku menatap matamu. Kau tahu? Aku berusaha menyelami pikiranmu waktu itu. Aku harap melalui matamu aku bisa tahu duniamu. Dunia perempuan yang baru saja kunikahi waktu itu. Tapi, tetap kosong. Aku tak pernah mampu membaca matamu. Gerak tubuhmu pun tak pernah mampu kubaca. Hingga sekarang. Lima tahun kebersamaan kita.

Kau dengar itu?
Lima tahun sudah kita bersama. Aku hampir tak percaya, kita bisa melewatinya. Aku ingin sampai mati bersamamu. Kau juga merasakan hal yang sama, bukan?
Ini, air minumnya. Hati-hati tersedak.

Kau tak bosan mendengarku bicara, kan? Aku hanya ingin mendengar kau berucap sesuatu sedikit saja. Menyebut namaku mungkin. Tak usah dipaksakan kalau kau masih belum mau. Aku yakin suatu saat nanti kau akan berbicara denganku. Kita akan mengobrol. Membicarakan masa lalu kita. Bahkan menata masa depan kita. Merencanakan kita akan punya berapa anak. Siapa nama mereka. Bagaimana pendidikannya. Kita akan menata itu semua. Kita pasti akan membentuk seorang anak yang istimewa. Yang terpandang. Yang mengangkat derajat kita. Kau setuju, bukan?

Baiklah, makanannya sudah habis. Sekarang, habiskan minumnya juga. Setelah itu kita tidur berdua. Sampai pagi. Lalu, kau temani aku membetulkan senar-senar yang putus. Siangnya, kalau kau mau, kau ikut aku bersenandung di lampu merah. Atau, kau pandangi saja aku dari kejauhan. Lihat caraku bernyanyi. Pasti kau terpana. Malamnya, aku akan menemanimu lagi. Untuk seterusnya aku akan lebih memahamimu dari sebelumnya. Aku juga tidak akan bekerja sampai larut lagi. Aku akan menata rumah tangga kita dengan baik. Dengan penuh perhitungan. Aku ingin membahagiakanmu. Kau dengar itu? Aku akan membuatmu bahagia. Sebahagia senja saat ingin terbenam.
***

Fajar diam-diam menjingga. Seorang lelaki tigapuluh tahun terseret pendaran cahaya yang keluar dari sudut langit paling timur. Wajah kumalnya tak bisa disembunyikan. Rambut tipis mulai lebat menutupi hampir separuh wajahnya. Ada segurat lelah yang begitu jelas tergambar dalam lelapnya. Di sisinya, tergeletak sebuah gitar tua yang senarnya sudah putus. Dan sebungkus nasi dengan air mineral kemasan gelas. Entah bagaimana, butir-butir nasi dan lauk pauknya berserakan di sekitarnya. Seperti habis dikoyak kucing jalanan.
Lelaki itu masih terpejam. Sendirian. Pucat. Kaku. Dingin. Diam.
***
Selamat pagi! Bagaimana tidurmu?


07.38 p.m.
8 April 2009

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan komentar...