Beberapa kemarin lalu aku melepaskan hari di mana keresahan dapat sirna dengan cara yang amat manis. Aku kembali berkumpul dengan sosok-sosok yang masih terasa menggemparkan ketika bilangan cerita memaksa bibir merekah membentuk rupa terindah dalam wajah. Keraguan tentang hidup sirna detik itu juga. Untuk sejenak aku yakin, inilah kebahagiaan. Inilah saat-saat yang selama ini kunanti dan kupertanyakan pada setiap senja yang terbenam di sudut sore. Aku dan kesepuluh sahabatku telah membuktikan semuanya. Darah kami berdesir hangat ketika untuk yang pertama kalinya kami kembali ke dusun itu—setelah sebelumnya menghabiskan detik-detik yang penuh dengan ketakterbacaan akan segala hal. Berlaksa rasa bertabur begitu megah menebarkan hal-hal tak terdefinisikan. Antara lelah, bahagia, bertanya pada suasana, dan rasa lapar tak terkira. Kesemuanya seperti meyiratkan kenikmatan tersendiri bagi kami—tak terkecuali diriku yang saat itu sangat membutuhkan seulas senyum agar padan dengan riak hati yang tak begitu dapat terkendali.
Setengah tiga, kami tiba di dusun itu. Beberapa dari kami langsung terbenam di bawah bantal dengan sejuknya lantai. Aku sendiri—yang datang terlambat—hanya mampu terpatri dengan debu yang begitu tebal membungkus pelataran wajah. Tak heran memang, aku menyusuri tapak jalanan menuju dusun itu dengan sosok tak beratap. Jika ternyata aku datang terlambat, itu hanya karena guyuran hujan dan sepenggal rintik di kedua pipiku yang memaksa menunggu hingga mentari tak lagi sembunyi. Namun, semuanya tak jadi masalah, aku masih mampu tersenyum dan mengembangkan sisa-sisa sayapku yang terlanjur basah.
“Kita mau langsung ke sekolah. Kamu mau ikut?”
“Iya atuh, tunggu sebentar. Aku mau cuci muka dulu.”
Langsung kuusap seluruh wajahku. Dinginnya air masih meninggalkan suatu rahasia yang belum mampu kujamah sampai detik ini. Busa-busa sabun yang biasanya kupermainkan kali ini tak sempat berlama-lama menepel di wajahku. Segera kubasuh kembali dengan sangat tergesa-gesa. Kami akan ke sekolah. Bertemu beberapa yang kami kenal dan menumpahkan rindu yang semestinya begitu indah ketika tumpah, menjadi ketergesa-gesaanku menyelesaikan putih yang menggumpal di kedua belah pipiku.
Tanpa sempat menjejalkan sesuatu entah ke dalam perut, kami segera melangkahkan kaki menyusuri dusun menuju suatu sekolah yang dulunya menjadi tempat kami menyelesaikan berlembar laporan pengsyarat nilai di ujung kartu hasil studi. Belum sampai setengah perjalanan, kami betemu mimpi-mimpi yang pernah berteriak memaksa kami untuk tetap tinggal dan menghabiskan waktu sebanyak mungkin di dusun itu. Wajah-wajah mereka masih sama. Namun, tetesan air sepertinya tak lagi keluar dari sudut-sudut mata. Mereka tampak berseri. Seperti dipenuhi sebentuk janji. Setelah itu, lebur dalam pelukan rindu yang menjelajahi dasar hati.
“Kaka!!!!” hampir serentak mereka memanggil kami. Meski dengan sedikit malu-malu mereka memberanikan diri menjemput tangan-tangan kami yang saat itu mulai membeku di makan gerimis tak menentu.
Rasa rindu kami berguguran begitu saja. Memandang mereka benar-benar mencipta kenyamanan yang tak lagi absurd. Semuanya seolah kembali membentuk titian mimpi yang tak terkalahkan waktu.
Rintik hujan semakin membesar membentuk derai-derai irama yang bersahutan dengan gemericik angin. Segera saja kami melaju menuju sekolah yang semenjak tadi digulirkan tanya beberapa dari kami. Namun, kami terlambat. Sekolah tak lagi menunggu kehadiran kami. Mereka sudah pulang. Katanya, terlalu lama menunggu-nunggui kami yang tak kunjung datang membawa kabar bagi para perindu yang sedari dulu ditahan angin sang waktu.
“Terus, kita mau kemana nih? Sekolah udah tutup.”
Tanpa jawaban, kami tahu kemana kaki akan dilangkahkan. Sebuah rumah dengan bilik yang hampir tak berwarna. Terlalu usang jika harus didefinisikan sebagai putih. Terlebih guratan catnya telah mengelupas membentuk lukisan tak bernada. Hanya berupa abstraksi penuh imaji. Begitupun guratan wajah yang hari itu kami jumpai. Ada seberkas rasa—yang entah apa maknanya—menyeruak di antara senyumnya. Mengembang laksana gadis belasan tahun menerima salam dari pemuda pujaan desa. Namun, ada kegetiran yang tertampar usia yang menua. Melalui senyumnya, pendaran rasa lebur membentuk jingga-jingga kurawal tak berkesudahan. Menghadirkan gelitik hangat dalam darah kami.
“Neng, Acep, naha teu wawartos bade ameng ka nu Mimih teh?”
Dengan logat yang sangat kuhafal betul, dia menyapa kami dengan sangat antusias. Seperti mendapati kembali sesuatu yang telah lama hilang. Disuguhkannya berbagai penganan yang lagi lagi sangat kukenali betul bentuk rupanya. Mengingatkanku tentang getirnya perjalanan kami menuju titik di mana sebuah angka mampu berbicara. Kami dipersilahkan duduk dengan cara yang menurutku sangat berbeda ketika dulu pertama kali kami bertandang ke rumah itu. Lebih dapat dikatakan bertamu untuk saat ini.
“Kan surprise, Mih. Teu rame lamun beja-beja mah.”
Kami bingung kata apa yang pantas untuk dijadikan alasan. Hanya kata itu yang begitu saja terlontar salah satu dari kami. Bagiku, itu sangat manis. Sangat pantas dipersembahkan sebagai alasan tak mengabarinya kehadiran kami hari itu. Sepertinya dia juga mengerti dan paham betul apa yang kami maksud. Dengan kekakuan yang teramat tebal, kami membentuk cerita-cerita mengenang masa klasik yang sering menari dalam benak. Kadang, sedikit kelakar tersaji di sela-sela obrolan. Menurut kami, hal itu dapat mencairkan suasana yang memang mulai berbeda. Terutama sosok renta yang tak henti-hentinya menyebut sebuah janji—entah dari siapa—untuk nanti kami penuhi.
Tanpa mengabaikan sosok renta di hadapanku, kupandangi sekeliling. Semuanya hampir terasa sama. Ranjang di depan televisi. Sudut-sudut ruangan yang terbelah-belah kisah klasik yang sering kami lantunkan. Lantai usang penuh jejak sahabat saat masih tersipu dan tergelak memenjarakan waktu selama empat puluh hari. Pajangan-pajangan ringan yang sering kami permainkan ketika rasa bosan menyeruak di sela-sela senda gurau. Dan kamar mandi dengan bintik-bintik cerah ketika langit dipenuhi senyuman mentari pun masih terpatri abadi saat kutengok sesekali. Semuanya terasa hampir sama. Yang berbeda hanya beberapa sosok yang dulu begitu dingin, kini sangat terasa megah mencipta suasana nyaman tak terkira. Juga, danau yang sempat menyaksikan beribu gaya kami, hilang—entah digulung hijau berpetak-petak.
Beberapa dari kami begitu asyik mengungkap saat-saat nyaman dan resah yang disaksikan ruangan yang kami dekap sore itu. Kadang, tawa begitu ruah dari bibir-bibir mungil kami. Sementara itu, ada hati yang entah berkecamuk beribu rasa. Tawanya juga ruah. Bahkan sangat megah. Juga ikut meniti saat tak terlupakan di bawah atap itu. Namun, di sudut hatinya yang paling ujung seperti ada kikisan luka yang lagi-lagi membasah. Seperti di balut cuka. Diguyur serempak layaknya dusun diguyur hujan tanpa ampun hari itu. Menganga. Tak terperikan nyeri yang dirasakannya. Aku tak begitu paham, bagaimana bisa dia begitu pandai menahan luka yang teramat pedih seperti itu. Tak satu pun dari kami tahu tentang lukanya. Kecuali aku. Jauh di kedalaman matanya, ada siratan tak terdefinisikan yang membuatku sedikit bertanya tentang makna luapan rasa semenjak tadi.
Tak ada yang bertanya. Tak ada yang mengerti. Tak ada yang harus tahu tentang derita yang ditanggungnya saat itu. Dia hanya ingin ikut dalam tawa. Memeriahkan satu malam yang akan kami lalui. Mengguratkan hempasan mimpi yang sempat tersingkir ngilu waktu.
Hujan semakin menyapu sudut-sudut terkecil dusun itu. Semakin membenamkan kami dalam dingin yang sedikit menghangat karena alunan nada yang tercipta dari gemerlap dada kami. Meneruskannya mengisi sela-sela lambung membuat tabuhan tak harmonis. Kami lapar. Semenjak pagi tadi, kami tak sempat bertemu dengan bentuk-bentuk lain dari sesuatu yang mengenyangkan. Hanya rindu. Ia begitu kuat menjelma dalam benak. Menyingkirkan rasa lain. Melupakannya. Baru saat sore, satu demi satu berbagai rasa hadir begitu saja. Mengharuskan kami beranjak dari bawah atap yang sedari tadi membawa kami pada cuplikan memori berbulan lalu.
Berburu butiran putih dengan lauk seadanya, kami begitu lahap. Seperti tak pernah menjumpainya berhari-hari. Dan lega segera menyeruak lewat berteguk gelas yang sudah tak bening lagi. Lapar lesap berganti puas tak terkira. Kami pun segera bergegas menjejak-jejakkan langkah lagi menuju rumah seorang suami dengan dua anak. Di bawah atap itu, kami berencana membaringkan tubuh terpejam. Di sana pula, kami akan memeriahkan malam. Entah dengan cara apa. Yang pasti satu malam itu akan kami buat bermakna. Paling tidak menghadirkan bentangan rasa bahagia dan lukisan cerita untuk diteruskan suatu hari nanti.
***
“Terus gimana nih? Kita tidur di mana? Tadi Si Mimih nawarin tidur di sana. Gimana ya?”
“Ngga tahu atuh, aku juga bingung. Masa kita harus dipisah? Kan ngga asyik. Tapi, emang gak enak juga sih kalau kita gak terima tawaran Si Mimih. Kita juga kan pernah tinggal di sana.”
“Ya udah atuh ngga apa-apa. Dibagi dua aja. Aku mau tidur di Si Mimih. Siapa yang mau bareng?”
“Sama aku aja.”
“Satu orang lagi siapa?”
“Ya udah, aku.”
Sudah diputuskan, tiga orang dari kami akan menghabiskan malam di gubuk renta. Termasuk aku. Kami—tiga perempuan—akan mengawali lelap usai berkumpul dalam suasana yang entah. Tak terbaca. Tapi bermakna. Tapi bahagia. Menghadirkan gemeletuk gigil di dasar hati—membuat rasa sepenuh nyaman.
Tak melulu berbincang. Kami pun merencanakan hal-hal yang belum sempat dipersiapkan sebelumnya. Semacam berkumpul menikmati hidangan sederhana yang kami masak sendiri. Ngeliwet, katanya. Sangat sederhana. Hanya nasi putih dipadu ikan asin, sambal, dan berlembar kerupuk. Tak terperikan nikmatnya. Perut yang sudah kekenyangan pun tak tahan akan godaannya. Dan dia, perempuan yang sedari tadi menyembunyikan laranya, kulihat binaran bahagia telah muncul hanya lewat satu siratan. Berjuta pedih lesap. Terbang menerobos pintu kegelisahan. Yang hadir malam itu adalah suka cita luar biasa. Semua dari kami menemukan sesuatu untuk dijadikan penebus rasa bersalah pada cucuran keringat yang tampak semenjak siang tadi di perjalanan. Aku harap, tak lagi mendapati lara di setiap pasang mata yang hadir malam itu. Biarlah seluruhnya tumpah dan terbungkus rasa bahagia yang meluap-luap.
***
Hari itu sebelas mozaik meniti kenangan, menggali-gali makna yang tersimpan di sebuah dusun. Atau mungkin tertinggal? Entah siapa yang nanti akan menemukan makna-makna itu. Yang jelas, aku sudah. Beberapa yang tak kupahami dan tak terdefinisi telah mampu terseret ikut masuk dalam saku celanaku. Dan kesemuanya itu, kini telah mengisi langit-langit kamar dan dapat kupandangi menjelang terlelap menyiapkan mimpi terindah.
Enam perempuan dan lima laki-laki telah berpendar membentuk lingkaran mimpi di dua atap rumah. Perempuan renta dan suami dengan dua orang anak. Di bawah kedua atap itu, resah kami pernah meledak. Namun, gemericik tawa kami lebih menghias di sudut bibir. Dan itu yang kami jadikan alasan untuk menerobos penat bis kota dan gemuruh hujan di sepanjang dusun. Itu yang menjadi alasan kami untuk dapat terlelap semalam saja di bawah atap yang dulu menjanjikan sebentuk nilai. Bagiku, alasan itu cukup manis. Cukup pantas disimpan dalam sebuh kotak serupa mimpi yang nanti—ketika semuanya terasa jauh tertinggalkan waktu—dapat menjadi penghias rindu pada bahagia saat menyusun puzzle-puzzle persahabatan.
Kami yakin, perjalanan kami hari itu bukanlah perjalanan yang hanya menyisakan butiran kenangan belaka. Kami telah mengukir suatu tali yang nanti akan menghubungkan berbagai dunia yang diarungi. Suatu saat, kami akan kembali—entah dalam keadaan seperti apa. Yang pasti, mereka tak boleh melupakan penggalan kisah yang kami ukir di tiap sudut dusun hingga yang paling temaram. Biarkan menjadi sesuatu yang selalu tampak indah ketika dikenang. Selalu terasa mendebarkan. Tak menyisakan genangan di sudut mata.
Untuk Cikadu,
Tempat bermuara sahabat KKN
2008-12-06
Terima kasih pernah memberiku senyuman sepanjang hari.
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan komentar...